Kode dan Ideologi: Menyibak Politik dalam Video Game

14 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gaming
Iklan

Game bukan sekadar hiburan. Mereka sarat dengan pesan politik & nilai ideologi. Bagaimana bentuknya? Sebagai gamer Indonesia, Main waspada?

***

Selama ini, video game sering dianggap sekadar hiburan untuk mengisi waktu luang. Namun, di tangan developer yang visioner, game telah bertransformasi menjadi kanvas digital tempat mereka melukiskan kritik sosial, pergulatan ideologi, dan komentar politik yang tajam. Seperti film atau novel, game bukanlah produk yang steril dari nilai-nilai pembuatnya.

Bagaimana Politik dan Ideologi Dikonvey dalam Game?

Pesan-pesan ini tidak selalu disampaikan secara gamblang. Berikut beberapa caranya:

  1. Narasi dan Cerita (Storytelling): Ini adalah metode paling langsung. Game seperti BioShock dengan gamblang mengkritik objektivisme Ayn Rand dan bahaya dari masyarakat ultra-libertarian yang tak terkendali. The Witcher 3 terus-menerus memaksa pemain untuk memilih di antara "yang buruk dan yang lebih buruk" dalam konflik politik yang rumit, mencerminkan realitas dunia yang tidak hitam-putih.

  2. Desain Dunia dan Lingkungan (Environmental Storytelling): Dunia game sering berbicara lebih lantang daripada dialog para karakternya. *Half-Life 2* menggambarkan dunia di bawah pemerintahan polisi alien yang opresif, di mana poster propaganda dan patroli tentara yang menakutkan menciptakan atmosfer takut dan penindasan. Fallout series menunjukkan akibat mengerikan dari perang nuklir dan nasionalisme ekstrem.

  3. Gameplay dan Mekanik: Inilah keunikan game sebagai medium. Dalam Papers, Please, Anda berperan sebagai petugas imigrasi di negara fasis. Mekanik game-nya yang repetitif dan monoton memaksa Anda untuk merasakan beban moral dalam mengambil keputusan yang menentukan hidup mati seorang pengungsi, hanya berdasarkan dokumen yang tidak lengkap. Di sini, gameplay itu sendiri adalah pesan politiknya.

  4. Karakter dan Hubungannya (Character & Relationship): Isu-isu sosial seperti ras, gender, dan seksualitas sering dieksplorasi melalui karakter. The Last of Us Part II menampilkan karakter LGBTQ+ dengan kompleks, bukan sebagai token, tetapi sebagai inti dari cerita dendam dan penebusan dosa. Game seperti Life is Strange membahas bullying, kekerasan, dan tekanan mental remaja dengan sangat intim.

  5. Metafora dan Allegory (Kiasan): Banyak game yang menyamarkan komentarnya dalam bentuk metafora. Death Stranding karya Hideo Kojima bisa dilihat sebagai alegori atas isolasi sosial di era teknologi dan upaya untuk menyambungkan kembali masyarakat yang terpecah belah—sebuah tema yang sangat relevan pasca-pandemi.

Refleksi terhadap Nilai-Nilai Indonesia: Sebuah Subbab Kritis

Sebagai pemain Indonesia, kita tidak bisa serta merta menelan mentah-mentah semua nilai yang ditawarkan sebuah game. Konteks sosial, budaya, dan religiusitas kita yang khas menuntut pendekatan yang lebih kritis. Beberapa poin yang perlu direfleksikan:

  • Individualisme vs Kolektivisme: Banyak game RPG Barat mendorong narasi "pahlawan tunggal" (the chosen one) yang menyelamatkan dunia sendirian. Nilai ini kerap bertolak belakang dengan semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang mengakar dalam masyarakat Indonesia. Apakah kita bermain dengan cara individualis, atau justru mencari komunitas (guild/clan) untuk berkolaborasi? Di sinilah letak ruang negosiasi nilai.

  • Representasi Agama dan Spiritualitas: Game sering kali memperlakukan agama sebagai mitos atau latar belakang estetika belaka. Bagi masyarakat Indonesia yang religius, pendekatan ini bisa terasa dangkal atau bahkan tidak sensitif. Adegan atau simbol yang dianggap "biasa" dalam budaya Barat, bisa jadi sangat kontroversial jika menyentuh keyakinan tertentu.

  • Norma Sosial dan Kesusilaan: Konten seperti kekerasan grafis, bahasa kasar, dan seksualitas yang eksplisit adalah hal umum dalam game berrating dewasa. Nilai-nilai ketimuran dan norma kesopanan kita meminta kita untuk mempertimbangkan ulang: sejauh mana konten ini dapat ditolerir? Apakah ia memiliki nilai naratif, atau sekadar sensasi?

  • Nasionalisme dan Perspektif Sejarah: Beberapa game strategi seperti Civilization memungkinkan pemain untuk "menaklukkan" dunia, termasuk merepresentasikan Indonesia sebagai salah satu kekuatan yang bisa dikalahkan. Sebagai warga negara, bagaimana kita menyikapi ini? Apakah kita bisa memisahkan antara simulasi game dengan rasa cinta tanah air yang nyata?

Kesimpulan

Video game adalah cermin dari pembuatnya, dan seperti cermin pada umumnya, ia bisa memantulkan cahaya maupun bayangan. Sebagai pemain Indonesia yang cerdas, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menjadi konsumen pasif. Dengan pendekatan kritis dan refleksi yang mendalam, kita bisa menikmati game sebagai sebuah karya seni sambil tetap menjaga dan memfilter nilai-nilai yang tidak sejalan dengan jati diri kita. Pilihan akhir ada di tangan Anda—pilihlah game yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memperkaya wawasan dengan cara yang positif dan bertanggung jawab.

Bagikan Artikel Ini
img-content
David

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler